div class='main-outer'>

jadwal sholat

Jadwal Waktu Shalat Wilayah Semarang

"Selalu ada Allah SWT, maka berharaplah kepada-Nya"
Home

Selasa, 02 Desember 2014

Hai Masalah Besar :)




            Kamis, 30 Oktober 2014, jam ditengah kota berdentang anggun sebanyak 6 kali. Suara teng tung teng tung mengingatkan orang-orang bahwa hari ini adalah hari baru. Sepagi itu, seluruh penduduk desa nakula mulai berlalu lalang sambil sibuk melihat jam di masing-masing tangan. Dilihat dari merk nya, harga jam di tangan penduduk sangat bervariasi. Mulai dari jam-jam nan elegan sebagai pajangan di mal-mal seharga jutaan rupiah hingga jam seharga 20ribuan yang bisa ditemukan di pasar loak di sudut kota. Yang jelas, berapapun harganya tetap saja waktu yang ditunjukan adalah sama.
Suatu tradisi apik yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar secara turun temurun sejak kota ini dilahirkan. ‘Tepat waktu adalah harga mati atau bahasa kerennya Respect To Time’ Sejatinya bila pemandangan ini dilihat oleh kota lain, tentulah sangat menginspirasi. Atau justru mengkonfrontasi hati untuk membenci hal yang seperti ini? Ah tak tahulah, kadang sebuah kemajuan dipandang dengan kebencian karena terbesit iri dan dengki.

            Hari memang begitu cerah, sinar mentari bersahabat baik dengan  mereka yang hatinya sedang baik. Dia menghangatkan dengan setia tanpa pamrih dari mereka yang mau menerima. Dan sekali lagi, hanya bagi yang mau. Karena hari yang cerah tidak selamanya menyenangkan bagi hati yang dirundung masalah.
                           
            Seorang pemuda berusia sekitar 20an tahun terlihat termenung di bangku taman kota. Pandangannya melihat kosong ke arah penduduk yang lalu lalang silih berganti di hadapannya. Muka yang menampakkan kesedihan dan ketakutan, ditambah lagi sorotan mata yang sama sekali tidak semangat untuk menjalani pagi ini. Aldin namanya. Dan baginya, pagi ini adalah pagi yang terburuk dalam sepanjang hidupnya. Meski langit cerah, namun hatinya diselimuti awan mendung pekat disertai petir. Meski udara sejuk karena semilir lembut angin, namun pikirannya kacau seakan diobrak-abrik puting beliung seharian.
           
            ******
            “Kenapa om?” Suara samar-samar itu terdengar. Tapi mengapa Aldin harus menggubrisnya?
            “Om om om, om kenapa?” suara itu kian lama kian terdengar jelas. Apa boleh buat, daripada suara itu selalu ada, Aldin pun memutuskan untuk menoleh. Hanya sekedar untuk menghentikan am om am om yang terdengar menyebalkan.
            Tapi, yang ia lihat adalah seorang gadis kecil belia. Dengan wajah yang menggemaskan dan pipi tembamnya menjadikan Aldin tak berdaya untuk meluapkan emosi sebalnya tadi. Ia tidak ingin menyakiti si gadis kecil dengan memarah-marahinya, ingin sekali ia menyambut senyum ceria yang dihadiahkan kepada dirinya. Tapi lagi lagi apa daya, hati sama sekali sedang tidak mendukung, meski hanya sekedar untuk menyunggingkan bibir.
            “Cerita saja om, hehe pasti Lana bantu deh”
            Mungkin benar apa yang dikatakan gadis kecil yang tak ia kenal itu. Bercerita pada anak kecil mungkin saja bisa sedikit menunda pedih di dada.
            “Lana ya tadi namanya?”
            Si Gadis mengangguk mantap.
            “Om lagi sedih dan bingung nih Lana, tadi om dimarahin dosen habis-habisan karena tertidur di kelas. D kampus nilai om pada turun drastis dan terancam untuk dikeluarkan dari kampus. Kerja sampingan om sebagai penulis juga belum bisa berjalan lancar karena om masih belum bisa focus akibat ayah om lagi sakit di kampung dan om belum bisa pulang karena tidak ada uang.” Begitu dijelaskan panjang lebar tentang masalah yang tengah di hadapi Aldin.
            Aldin tak yakin benar bahwa Lana akan faham. Yang dia lihat hanya kepala manggut manggut seakan mengerti saja. Dan ia berusaha meringkas semua dalam satu kalimat.
            “Intinya, Om sedang dalam masalah besar, dan Om tak tahu harus bagaimana, Om takut, Om sedih”
            Lana menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mungkin kalimat ini bisa ia pahami sekarang. Sambil mengepalkan tangan ia mengucapkan sesuatu.
            “Ucapakan ini saja Om pada masalah besar om tadi”
            HAI MASALAH BESAR, AKU PUNYA ALLAH YANG LEBIH BESAR

            Aldin hanya bisa tertegun. Kalimat itu justru tak pernah terpikirkan olehnya. Rasa sadar itu mungkin tumbuh jika dilihat dari rona wajahnya yang terlihat lebih cerah. Ahh, pemahaman baik memang bisa datang dari mana saja.
            Kemudian Ia berdiri dengan mantap dari bangku taman kota, dan merogoh tas ransel hitam miliknya. Dan mengeluarkan benda dari dalamnya.
            “Lana, kau mau coklat?”
            “Ngomong-ngomong, kenapa Lana tiba-tiba menghampiri Om tadi?”
            Lana meraih coklat yang telah disodorkan untuknya.
            “Lana sedang belajar jadi agen Islam yang baik.

30-Oktober 2014
Sehabis menonton 99 Cahaya di Langit Eropa.

                                                                                                            Penulis : Irkham Maulana

Tidak ada komentar: