Kamis, 30 Oktober 2014, jam ditengah
kota berdentang anggun sebanyak 6 kali. Suara teng tung teng tung mengingatkan orang-orang bahwa hari ini adalah hari
baru.
Sepagi itu, seluruh penduduk desa
nakula mulai
berlalu lalang sambil sibuk melihat jam di
masing-masing
tangan. Dilihat dari
merk nya, harga jam di tangan penduduk sangat bervariasi. Mulai dari jam-jam
nan elegan sebagai pajangan di mal-mal seharga jutaan rupiah hingga jam seharga
20ribuan yang bisa ditemukan di pasar loak di sudut kota. Yang jelas, berapapun
harganya tetap saja waktu yang ditunjukan adalah sama.
Suatu
tradisi apik yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar secara turun temurun
sejak kota ini dilahirkan. ‘Tepat
waktu adalah harga mati atau bahasa kerennya Respect To Time’ Sejatinya bila
pemandangan ini dilihat oleh kota lain, tentulah sangat menginspirasi. Atau
justru mengkonfrontasi hati untuk membenci hal yang seperti ini? Ah tak tahulah, kadang sebuah kemajuan dipandang
dengan kebencian karena terbesit iri dan dengki.
Hari memang begitu cerah, sinar
mentari bersahabat baik dengan mereka
yang hatinya sedang baik. Dia menghangatkan dengan setia tanpa pamrih dari
mereka yang mau menerima.
Dan sekali lagi, hanya bagi
yang mau. Karena hari yang cerah tidak selamanya menyenangkan bagi hati yang
dirundung masalah.
Seorang pemuda berusia sekitar 20an tahun terlihat termenung di
bangku taman kota. Pandangannya melihat kosong ke arah penduduk yang lalu lalang silih berganti
di hadapannya. Muka yang menampakkan kesedihan dan ketakutan, ditambah lagi
sorotan mata yang sama sekali tidak semangat untuk menjalani pagi ini. Aldin namanya. Dan baginya, pagi ini adalah pagi yang
terburuk dalam sepanjang hidupnya. Meski langit cerah, namun hatinya diselimuti
awan mendung pekat disertai petir. Meski udara sejuk karena semilir lembut
angin, namun pikirannya kacau seakan diobrak-abrik puting beliung seharian.
******
“Kenapa om?” Suara samar-samar itu terdengar. Tapi
mengapa Aldin harus menggubrisnya?
“Om om om, om kenapa?” suara itu kian lama kian terdengar
jelas. Apa boleh buat, daripada suara itu selalu ada, Aldin pun memutuskan
untuk menoleh. Hanya sekedar untuk menghentikan am om am om yang terdengar
menyebalkan.
Tapi, yang ia lihat adalah seorang gadis kecil belia.
Dengan wajah yang menggemaskan dan pipi tembamnya menjadikan Aldin tak berdaya
untuk meluapkan emosi sebalnya tadi. Ia tidak ingin menyakiti si gadis kecil
dengan memarah-marahinya, ingin sekali ia menyambut senyum ceria yang
dihadiahkan kepada dirinya. Tapi lagi lagi apa daya, hati sama sekali sedang
tidak mendukung, meski hanya sekedar untuk menyunggingkan bibir.
“Cerita saja om, hehe pasti Lana bantu deh”
Mungkin benar apa yang dikatakan gadis kecil yang tak ia
kenal itu. Bercerita pada anak kecil mungkin saja bisa sedikit menunda pedih di
dada.
“Lana ya tadi namanya?”
Si Gadis mengangguk mantap.
“Om lagi sedih dan bingung nih Lana, tadi om dimarahin
dosen habis-habisan karena tertidur di kelas. D kampus nilai om pada turun
drastis dan terancam untuk dikeluarkan dari kampus. Kerja sampingan om sebagai
penulis juga belum bisa berjalan lancar karena om masih belum bisa focus akibat
ayah om lagi sakit di kampung dan om belum bisa pulang karena tidak ada uang.”
Begitu dijelaskan panjang lebar tentang masalah yang tengah di hadapi Aldin.
Aldin tak yakin benar bahwa Lana akan faham. Yang dia
lihat hanya kepala manggut manggut seakan mengerti saja. Dan ia berusaha
meringkas semua dalam satu kalimat.
“Intinya, Om sedang dalam masalah besar, dan Om tak tahu
harus bagaimana, Om takut, Om sedih”
Lana menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
Mungkin kalimat ini bisa ia pahami sekarang. Sambil mengepalkan tangan ia
mengucapkan sesuatu.
“Ucapakan ini saja Om pada masalah besar om tadi”
HAI MASALAH BESAR, AKU PUNYA ALLAH YANG LEBIH BESAR
Aldin hanya bisa tertegun. Kalimat itu justru tak pernah
terpikirkan olehnya. Rasa sadar itu mungkin tumbuh jika dilihat dari rona
wajahnya yang terlihat lebih cerah. Ahh, pemahaman baik memang bisa datang dari
mana saja.
Kemudian Ia berdiri dengan mantap dari bangku taman kota,
dan merogoh tas ransel hitam miliknya. Dan mengeluarkan benda dari dalamnya.
“Lana, kau mau coklat?”
“Ngomong-ngomong, kenapa Lana tiba-tiba menghampiri Om
tadi?”
Lana meraih coklat yang telah disodorkan untuknya.
“Lana sedang belajar jadi agen Islam yang baik.
30-Oktober 2014
Sehabis menonton
99 Cahaya di Langit Eropa.
Penulis
: Irkham Maulana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar